Selasa, 24 November 2009

POLA RELASI ORTU - ANAK

Pola Relasi Orangtua - Anak
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi perkembangan individu. Sejak kecil anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Dalam hal ini, peranan orang tua menjadi amat sentral dan sangat besar pengaruhnya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Slater (Elizabeth Hurlock 1974:353) mengungkapkan tentang empat pola dasar relasi orang tua-anak yang bipolar beserta pengaruhnya terhadap kepribadian anak, yaitu :

Pengaruh yang mungkin dirasakan dari adanya sikap orang tua yang penuh toleransi, memungkinkan anak untuk dapat memiliki ego yang kuat. Sebaliknya, sikap tidak toleran cenderung akan menghasilkan ego yang lemah pada diri anak.
Relasi orang tua-anak yang permisif dapat membentuk menunjang proses pembentukan kontrol intelektual anak, namun sebaliknya kekerasan berdampak pada pembentukan pribadi anak yang impulsif.
Seorang anak cenderung akan menjadi ekstrovert, manakala orang tua dapat menunjukkan sikap mau terlibat dan peduli . Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu membiarkan berdampak terhadap pembentukan pribadi anak yang introvert.
Relasi orang tua-anak yang diwarnai kehangatan memungkinkan anak memiliki kemampuan untuk dapat melibatkan diri dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, relasi orang tua-anak yang dingin akan menyebabkan anak senantiasa menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Sikap dan perlakuan orang tua yang toleran, permisif, turut terlibat dan penuh kehangatan merupakan manifestasi dari penerimaan orang tua terhadap anak. Sedangkan sikap dan perlakuan orang tua yang tidak toleran, keras, membiarkan dan dingin merupakan bentuk penolakan terhadap anak.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan harga diri anak, orang tua seyogyanya dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar bertanggung jawab dan menentukan dirinya sendiri. Di sini, orang tua hanya berperan sebagai fasilitator, yang berupaya untuk memberikan kesempatan yang luas kepada anak dalam meraih harga dirinya melalui pengembangan minat dan kecakapannya.
Buss (1973) mengemukakan bahwa kasih sayang orang tua yang tulus (unconditional parental love) merupakan faktor penting yang dapat membentuk inti (core) dari harga diri anak.
Berbagai studi yang dilakukan menunjukkan bahwa seorang anak menjadi anti demokratis, prejudice, dan memiliki sikap permusuhan dari adanya sikap perlakuan orang tua yang keras (Hoffman, 1960; Harris, Gough & Martin, 1950; Lyle & Levitt, 1955). Studi yang dilakukan Radke (1946) menunjukkan bahwa anak merasa sedih, kurang bahagia, dan merasa sakit dengan adanya perlakuan orang tua yang disertai hukuman fisik. Sementara itu, studi yang dilakukan Symonds (1939) menyimpulkan bahwa : “… accepted children engaged predominantly in society behaviors, whereas rejected children menifested a number unacceptable behaviors.”

DISIPLIN SISWA DI SEKOLAH

Disiplin Siswa di Sekolah

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar orang mengatakan bahwa si X adalah orang yang memiliki disiplin yang tinggi, sedangkan si Y orang yang kurang disiplin. Sebutan orang yang memiliki disiplin tinggi biasanya tertuju kepada orang yang selalu hadir tepat waktu, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan sejenisnya. Sebaliknya, sebutan orang yang kurang disiplin biasanya ditujukan kepada orang yang kurang atau tidak dapat mentaati peraturan dan ketentuan berlaku, baik yang bersumber dari masyarakat (konvensi-informal), pemerintah atau peraturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tertentu (organisasional-formal).
Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin sekolah. Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Menurut Wikipedia (1993) bahwa disiplin sekolah “refers to students complying with a code of behavior often known as the school rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut, seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing), ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar/kerja. Pengertian disiplin sekolah kadangkala diterapkan pula untuk memberikan hukuman (sanksi) sebagai konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan, meski kadangkala menjadi kontroversi dalam menerapkan metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment), sebagaimana diungkapkan oleh Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snock dalam bukunya “Dangerous School” (1999).
Berkenaan dengan tujuan disiplin sekolah, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah : (1) memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang, (2) mendorong siswa melakukan yang baik dan benar, (3) membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah, dan (4) siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya. Sementara itu, dengan mengutip pemikiran Moles, Joan Gaustad (1992) mengemukakan: “School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning”. Sedangkan Wendy Schwartz (2001) menyebutkan bahwa “the goals of discipline, once the need for it is determined, should be to help students accept personal responsibility for their actions, understand why a behavior change is necessary, and commit themselves to change”. Hal senada dikemukakan oleh Wikipedia (1993) bahwa tujuan disiplin sekolah adalah untuk menciptakan keamanan dan lingkungan belajar yang nyaman terutama di kelas. Di dalam kelas, jika seorang guru tidak mampu menerapkan disiplin dengan baik maka siswa mungkin menjadi kurang termotivasi dan memperoleh penekanan tertentu, dan suasana belajar menjadi kurang kondusif untuk mencapai prestasi belajar siswa.
Keith Devis mengatakan, “Discipline is management action to enforce organization standarts” dan oleh karena itu perlu dikembangkan disiplin preventif dan korektif. Disiplin preventif, yakni upaya menggerakkan siswa mengikuti dan mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan hal itu pula, siswa berdisiplin dan dapat memelihara dirinya terhadap peraturan yang ada. Disiplin korektif, yakni upaya mengarahkan siswa untuk tetap mematuhi peraturan. Bagi yang melanggar diberi sanksi untuk memberi pelajaran dan memperbaiki dirinya sehingga memelihara dan mengikuti aturan yang ada.
Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan dengan persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi di kalangan siswa remaja pada akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat mengkhawarirkan, seperti: kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, gang motor dan berbagai tindakan yang menjurus ke arah kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat ringan sampai dengan pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus bolos, perkelahian, nyontek, pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk penyimpangan perilaku lainnya.Tentu saja, semua itu membutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangganya, dan di sinilah arti penting disiplin sekolah.
Perilaku siswa terbentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan, keluarga dan sekolah. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah merupakan salah satu faktor dominan dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku siswa. Di sekolah seorang siswa berinteraksi dengan para guru yang mendidik dan mengajarnya. Sikap, teladan, perbuatan dan perkataan para guru yang dilihat dan didengar serta dianggap baik oleh siswa dapat meresap masuk begitu dalam ke dalam hati sanubarinya dan dampaknya kadang-kadang melebihi pengaruh dari orang tuanya di rumah. Sikap dan perilaku yang ditampilkan guru tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari upaya pendisiplinan siswa di sekolah.
Brown dan Brown mengelompokkan beberapa penyebab perilaku siswa yang indisiplin, sebagai berikut :
1. Perilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh guru
2. Perilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh sekolah; kondisi sekolah yang kurang menyenangkan, kurang teratur, dan lain-lain dapat menyebabkan perilaku yang kurang atau tidak disiplin.
3. Perilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh siswa , siswa yang berasal dari keluarga yang broken home.
4. Perilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh kurikulum, kurikulum yang tidak terlalu kaku, tidak atau kurang fleksibel, terlalu dipaksakan dan lain-lain bisa menimbulkan perilaku yang tidak disiplin, dalam proses belajar mengajar pada khususnya dan dalam proses pendidikan pada umumnya.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, seorang guru harus mampu menumbuhkan disiplin dalam diri siswa, terutama disiplin diri. Dalam kaitan ini, guru harus mampu melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Membantu siswa mengembangkan pola perilaku untuk dirinya; setiap siswa berasal dari latar belakang yang berbeda, mempunyai karakteristik yang berbeda dan kemampuan yang berbeda pula, dalam kaitan ini guru harus mampu melayani berbagai perbedaan tersebut agar setiap siswa dapat menemukan jati dirinya dan mengembangkan dirinya secara optimal.
2. Membantu siswa meningkatkan standar prilakunya karena siswa berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, jelas mereka akan memiliki standard prilaku tinggi, bahkan ada yang mempunyai standard prilaku yang sangat rendah. Hal tersebut harus dapat diantisipasi oleh setiap guru dan berusaha meningkatkannya, baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam pergaulan pada umumnya.
3. Menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat; di setiap sekolah terdapat aturan-aturan umum. Baik aturan-aturan khusus maupun aturan umum. Perturan-peraturan tersebut harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang mendorong perilaku negatif atau tidak disiplin.
Selanjutnya, Brown dan Brown mengemukakan pula tentang pentingnya disiplin dalam proses pendidikan dan pembelajaran untuk mengajarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rasa hormat terhadap otoritas/ kewenangan; disiplin akan menyadarkan setiap siswa tentang kedudukannya, baik di kelas maupun di luar kelas, misalnya kedudukannya sebagai siswa yang harus hormat terhadap guru dan kepala sekolah.
2. Upaya untuk menanamkan kerja sama; disiplin dalam proses belajar mengajar dapat dijadikan sebagai upaya untuk menanamkan kerjasama, baik antara siswa, siswa dengan guru, maupun siswa dengan lingkungannya.
3. Kebutuhan untuk berorganisasi; disiplin dapat dijadikan sebagai upaya untuk menanamkan dalam diri setiap siswa mengenai kebutuhan berorganisasi.
4. Rasa hormat terhadap orang lain; dengan ada dan dijunjung tingginya disiplin dalam proses belajar mengajar, setiap siswa akan tahu dan memahami tentang hak dan kewajibannya, serta akan menghormati dan menghargai hak dan kewajiban orang lain.
5. Kebutuhan untuk melakukan hal yang tidak menyenangkan; dalam kehidupan selalu dijumpai hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Melalui disiplin siswa dipersiapkan untuk mampu menghadapi hal-hal yang kurang atau tidak menyenangkan dalam kehidupan pada umumnya dan dalam proses belajar mengajar pada khususnya.
6. memperkenalkan contoh perilaku tidak disiplin; dengan memberikan contoh perilaku yang tidak disiplin diharapkan siswa dapat menghindarinya atau dapat membedakan mana perilaku disiplin dan yang tidak disiplin.
Sementara itu, Reisman dan Payne (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan strategi umum merancang disiplin siswa, yaitu : (1) konsep diri; untuk menumbuhkan konsep diri siswa sehingga siswa dapat berperilaku disiplin, guru disarankan untuk bersikap empatik, menerima, hangat dan terbuka; (2) keterampilan berkomunikasi; guru terampil berkomunikasi yang efektif sehingga mampu menerima perasaan dan mendorong kepatuhan siswa; (3) konsekuensi-konsekuensi logis dan alami; guru disarankan dapat menunjukkan secara tepat perilaku yang salah, sehingga membantu siswa dalam mengatasinya; dan memanfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah; (4) klarifikasi nilai; guru membantu siswa dalam menjawab pertanyaannya sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk sistem nilainya sendiri; (5) analisis transaksional; guru disarankan guru belajar sebagai orang dewasa terutama ketika berhadapan dengan siswa yang menghadapi masalah; (6) terapi realitas; sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Guru perlu bersikap positif dan bertanggung jawab; dan (7) disiplin yang terintegrasi; metode ini menekankan pengendalian penuh oleh guru untuk mengembangkan dan mempertahankan peraturan; (8) modifikasi perilaku; perilaku salah disebabkan oleh lingkungan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif; (9) tantangan bagi disiplin; guru diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan dalam pengendalian yang tegas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa peserta didik akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari-hari pertama di sekolah, dan guru perlu membiarkan mereka untuk mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai pemimpin.

MENYONTEK - dalam pendidikan

Perilaku Nyontek dalam Pendidikan

Menyontek atau cheating memang bukan hal baru dalam dunia pendidikan, yang biasanya dilakukan oleh seorang atau sekelompok siswa/mahasiswa pada saat menghadapi ujian (test), misalnya dengan cara melihat catatan atau melihat pekerjaan orang lain atau pada saat memenuhi tugas pembuatan makalah (skripsi) dengan cara menjiplak karya orang lain dengan tanpa mencantumkan sumbernya (plagiat).
Menurut Wikipedia cheating merupakan tindakan bohong, curang, penipuan guna memperoleh keuntungan teretentu dengan mengorbankan kepentingan orang lain.
Meski tidak ditunjang dengan bukti empiris, banyak orang menduga bahwa maraknya korupsi di Indonesia sekarang ini memiliki korelasi dengan kebiasaan menyontek yang dilakukan oleh pelakunya pada saat dia mengikuti pendidikan.
Sebenarnya, secara formal setiap sekolah atau institusi pendidikan lainnya pasti telah memiliki aturan baku yang melarang para siswanya untuk melakukan tindakan nyontek. Namun kadang kala dalam prakteknya sangat sulit untuk menegakkan aturan yang satu ini. Pemberian sanksi atas tindakan nyontek yang tidak tegas dan konsisten merupakan salah satu faktor maraknya perilaku nyontek.
Tindakan nyontek (plagiasi) semakin subur dengan hadirnya internet, ketika siswa atau mahasiswa diberi tugas oleh guru atau dosen untuk membuat makalah banyak yang meng-copy- paste berbagai tulisan yang ada dalam internet secara bulat-bulat. Mungkin masih agak lumayan kalau tulisan yang di-copy-paste-nya itu dipahami terlebih dahulu isinya, seringkali tulisan itu langsung diserahkan kepada guru/dosen, dengan sedikit editing menggantikan nama penulis aslinya dengan namanya sendiri.
Yang lebih mengerikan justru tindakan nyontek dilakukan secara terrencana dan konspiratif antara siswa dengan guru, tenaga kependidikan (baca: kepala sekolah, birokrat pendidikan, pengawas sekolah, dll) atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan pendidikan, seperti yang terjadi pada saat Ujian Nasional. Jelas, hal ini merupakan tindakan amoral yang sangat luar biasa, justru dilakukan oleh orang-orang yang berlabelkan “pendidikan”. Mereka secara tidak langsung telah mengajarkan kebohongan kepada siswanya, dan telah mengingkari hakikat dari pendidikan itu sendiri.
Di lain pihak, para orang tua siswa pun dan mungkin pemerintah setempat sepertinya berterima kasih dan memberikan dukungan atas “bantuan yang diberikan sekolah” kepada putera-puterinya pada saat mengisi soal-soal ujian nasional.
Sekolah-sekolah yang permisif terhadap perilaku nyontek dengan berbagai bentuknya, sudah semestinya ditandai sebagai sekolah berbahaya, karena dari sekolah-sekolah semacam inilah kelak akan lahir generasi masa depan pembohong dan penipu yang akan merugikan banyak orang.
Secara psikologis, mereka yang melakukan perilaku nyontek pada umumnya memiliki kelemahan dalam perkembangan moralnya, mereka belum memahami dan menyadari mana yang baik dan buruk dalam berperilaku. Selain itu, perilaku nyontek boleh jadi disebabkan pula oleh kurangnya harga diri dan rasa percaya diri (ego weakness). Padahal kedua aspek psikologi inilah yang justru lebih penting dan harus dikembangkan melalui pendidikan untuk kepentingan keberhasilan masa depan siswanya.
Akhirnya, apa pun alasannya perilaku nyontek khususnya yang terjadi pada saat Ujian Nasional harus dihentikan.
Bagaimana pendapat Anda?

PROBLEMA MASA REMAJA

Problema Masa Remaja

Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Harold Alberty (1957) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai dengan awal masa dewasa. Conger berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa yang amat kritis yang mungkin dapat erupakan the best of time and the worst of time.
Kita menemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang masa remaja :
• Freud menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi-mengisi.Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.
• Hofmann menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa pembentukan sikap-sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu.
• G. Stanley Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa storm and drang (badai dan topan).
Para ahli umumnya sepakat bahwa rentangan masa remaja berlangsung dari usia 11-13 tahun sampai dengan 18-20 th (Abin Syamsuddin, 2003). Pada rentangan periode ini terdapat beberapa indikator perbedaan yang signifikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu, para ahli mengklasikasikan masa remaja ini ke dalam dua bagian yaitu: (1) remaja awal (11-13 th s.d. 14-15 th); dan (2) remaja akhir (14-16 th s.d.18-20 th).
Masa remaja ditandai dengan adanya berbagai perubahan, baik secara fisik maupun psikis, yang mungkin saja dapat menimbulkan problema tertentu bagi si remaja. pabila tidak disertai dengan upaya pemahaman diri dan pengarahan diri secara tepat, bahkan dapat menjurus pada berbagai tindakan kenakalan remaja dan kriminal. Problema yang mungkin timbul pada masa remaja diantaranya :
Problema berkaitan dengan perkembangan fisik dan motorik.
Pada masa remaja ditandai dengan adanya pertumbuhan fisik yang cepat. Keadaan fisik pada masa remaja dipandang sebagai suatu hal yang penting, namun ketika keadaan fisik tidak sesuai dengan harapannya (ketidaksesuaian antara body image dengan self picture) dapat menimbulkan rasa tidak puas dan kurang percaya diri. Begitu juga, perkembangan fisik yang tidak proporsional. Kematangan organ reproduksi pada masa remaja membutuhkan upaya pemuasan dan jika tidak terbimbing oleh norma-norma dapat menjurus pada penyimpangan perilaku seksual.
Problema berkaitan dengan perkembangan kognitif dan bahasa.
Pada masa remaja awal ditandai dengan perkembangan kemampuan intelektual yang pesat. Namun ketika, si remaja tidak mendapatkan kesempatan pengembangan kemampuan intelektual, terutama melalui pendidikan di sekolah, maka boleh jadi potensi intelektualnya tidak akan berkembang optimal. Begitu juga masa remaja, terutama remaja awal merupakan masa terbaik untuk mengenal dan mendalami bahasa asing. Namun dikarenakan keterbatasan kesempatan dan sarana dan pra sarana, menyebabkan si remaja kesulitan untuk menguasai bahasa asing. Tidak bisa dipungkiri, dalam era globalisasi sekarang ini, penguasaan bahasa asing merupakan hal yang penting untuk menunjang kesuksesan hidup dan karier seseorang. Namun dengan adanya hambatan dalam pengembangan ketidakmampuan berbahasa asing tentunya akan sedikit-banyak berpengaruh terhadap kesuksesan hidup dan kariernya. Terhambatnya perkembangan kognitif dan bahasa dapat berakibat pula pada aspek emosional, sosial, dan aspek-aspek perilaku dan kepribadian lainnya.
Problema berkaitan dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas dan keagamaan.
Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger (kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya. Problema perilaku sosial remaja tidak hanya terjadi dengan kelompok sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua dan dewasa lainnya, termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada masa remaja, khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan pilihannya sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua, terutama secara ekonomis. Sejalan dengan pertumbuhan organ reproduksi, hubungan sosial yang dikembangkan pada masa remaja ditandai pula dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan lain jenis dan jika tidak terbimbing dapat menjurus tindakan penyimpangan perilaku sosial dan perilaku seksual. Pada masa remaja juga ditandai dengan adanya keinginan untuk mencoba-coba dan menguji kemapanan norma yang ada, jika tidak terbimbing, mungkin saja akan berkembang menjadi konflik nilai dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.
Problema berkaitan dengan perkembangan kepribadian, dan emosional.
Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri (self identity). Usaha pencarian identitas pun, banyak dilakukan dengan menunjukkan perilaku coba-coba, perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas dirinya, dia akan mengalami krisis identitas atau identity confusion, sehingga mungkin saja akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan menggambarkan keadaan diri yang sebenarnya. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya.
Selain yang telah dipaparkan di atas, tentunya masih banyak problema keremajaan lainnya. Timbulnya problema remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Agar remaja dapat terhindar dari berbagai kesulitan dan problema kiranya diperlukan kearifan dari semua pihak. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan remaja menjadi amat penting. Dalam hal ini, peranan orang tua, sekolah, serta masyarakat sangat diharapkan.

KRISTOLOGI- perlukah dipelajari?

Sampai saat ini masih banyak umat Islam 'alergi' mendengar kata “Kristologi” sebab hal itu pasti berhubungan dengan agama Kristen karena akan berbicara tentang Alkitab (Bible) & Yesus. Mereka selalu berusaha menghindar dari nama-nama itu, apalagi mengikuti kajian Kristologi. Bahkan ada yang berpendapat, bila dirumah orang Islam ada Alkitab (Bible), malaikat rahmat tidak akan masuk kerumahnya. Menurut kami ini adalah pemahaman yang keliru & tidak beralasan.

Sebab sebagai ilmu pengetahuan apa saja boleh kita pelajari. Contoh :
 Mempelajari tentang kriminal & bagaimana menghadapi para pelaku kriminal, polisi perlu belajar KRIMINOLOGI
 Untuk mempelajari seluk beluk bumi atau alam semesta, perlu belajar GEOLOGI
 Untuk mempelajari keadaan mahluk hidup, perlu belajar BIOLOGI
 Untuk mempelajari ilmu eksakta berdasarkan proses tehnik, perlu belajar TEHNOLOGI
 Mempelajari cara & tehnologi pembuatan, serta interaksi antar obat, sistim & proses hidup untuk kepentingan diagnosis, pencegahan, perawatan & pengobatan penyakit, perlu belajar FARMAKOLOGI
 Mempelajari segala sesuatu yang berhubungan tentang agama Islam, baik Al Qur`an & Hadits atau Sejarah Nabi dll, harus belajar ISLAMOLOGI
 Mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan Alkitab/Bible/Injil atau tentang agama Kristen & Yesus Kristus dll, perlu belajar KRISTOLOGI
Jadi, Kristologi yaitu berhubungan tentang ilmunya, sedangkan Kristolog yaitu orang yang mendalami ilmu tersebut.

Mengapa Kristologi perlu dipelajari?

Kristologi perlu dipelajari sebab merupakan bagian dari Islamologi. Kenapa? Ada bbrp hal diantaranya :
1. Sebab dalam Al Qur`an terdapat banyak ayat-ayat yang berbicara tentang Nabi Isa as yang oleh umat Kristiani disebut Yesus. Bahkan dalam Al Qur`an sekitar 60 kali nama Yesus disebutkan, seperti nama Isa disebutkan 26 kali yaitu : Qs 2 : 87, 136, 253. Qs 3 : 45,52,55, 59, 84. Qs 4 : 157,163,171. Qs 5 : 46, 78, 110, 111, 112, 114, 116. Qs 6 : 85. Qs 19 : 34. Qs 33 : 7. Qs 42 : 13. Qs 43 : 63. Qs 57 : 27. Qs 61 : 6, 14. Almasih disebutkan 11 kali yaitu: Qs 3 : 45. Qs 4 : 157, 171, 172. Qs 5 : 17 (2 x ulang). Qs 5 : 72 (2 x ulang). Qs 5 : 75. Qs 9 : 30, 31. Dan Ibnu Maryam disebutkan 23 kali yaitu: Qs 2 : 87, 253. Qs 3 :45. Qs 4 : 157, 171. Qs 5 : 17 (2 x ulang). Qs 5 : 46, 72, 75, 78, 110, 112, 114, 116. Qs 9 : 31. Qs 19 : 34. Qs 23 : 50. Qs 33 : 7. Qs 43 : 57. Qs 57 : 27. Qs 61 : 6, 14
2. Terdapat banyak persamaan nama nabi & orang lain dalam Al Qur`an, sama seperti yang ada dalam Alkitab: Nabi Adam, Musa, Harun, Nuh, Luth, Ibrahim, Ismael, Ishak, Yakub, Yahya, Daud, Sulaiman, Ayub, Elias, Ezra, Hamran, Yunus, Yusuf, Zakaria, Isa dll. Juga persamaan nama lainnya, spt : Hawa, Ham, Yafet, Kain, Habel, Babel, Betlehem, Bait Allah, Firaun, Goliat, Hagar, Sara, Jibril, Mikael, Maria, Mesir, Nasrani, Paran, Sinai, Saul, Yahudi, Taurat, Zabur, Injil dll
3. Perintah beriman kepada Kitab-Kitab yang turun sebelumnya yaitu Taurat, Zabur & Injil (Qs 3 : 3) & beriman kepada kitab tersebut merupakan salah satu Rukun Iman.
4. Adanya firman Allah dalam Al Qur`an yang memerintahkan untuk mengajak Ahli Kitab agar mereka masuk Islam supaya mereka mendapatkan keselamatan (Qs 3 : 20, 64 dll)
5. Banyak informasi & kritikan Al Qur`an terhadap Alkitab tentang adanya campur tangan tulisan manusia dalam kitab mereka, juga ajakan agar mereka kembali ke jalan yang benar. dll


Berdasarkan hal-hal tersebut maka Kristologi perlu dipelajari oleh umat Islam. Kalau tidak, nanti kata misionaris Kristen : “Al Qur`an menyuruh beriman kepada kitab yang turun sebelumnya yaitu Taurat, Zabur & Injil. Mengapa kalian tidak beriman kepada kitab kami ini?” .

Tentu bagi orang Islam awam, bingung menjawab, mungkin membenarkan kata misionaris tersebut

Menjadi pertanyaan :
1. Apakah Nabi Isa as sama dengan Yesus?

yang dimaksud Qur`an, beriman kepada Kitab-Kitab sebelumnya (Taurat, Zabur & Injil) apakah kitab yang ada dewasa ini spt yang mereka bawa ke Gereja atau bukan?

Apakah orang-orang yang namanya sama dalam Alkitab mempunyai misi, ajaran & ahlak sama spt yang diceritakan dalam Qur`an atau tidak? Dll.

Kemudian yang sangat menarik, bagaimana membuktikan kebenaran informasi & kritikan Al Qur`an terhadap Alkitab. Sebab Al Qur`an begitu banyak memberikan informasi & kritikan terhadap Alkitab. Jika informasi & kritikan Al Qur`an tersebut tidak bisa dibuktikan, berarti Al Qur`an “bohong” atau bahkan “memfitnah”. Contoh: Informasi sekaligus kritikan adanya orang-orang yang menulis Alkitab dengan tangan mereka lalu dikatakan: “ini berasal dari Allah”

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, & kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan (Qs 2:79)

Pertanyaannya, mana bukti ayat-ayat Alkitab yang ditulis dengan tangan manusia tersebut?

Untuk membuktikannya, harus dilihat dalam Alkitab, bukan dalam Al Qur`an

Contoh lain Qs 3 : 70
Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya).

Ayat Qur`an ini memberi informasi sekaligus kritikan adanya Ahli Kitab yang mengingkari ayat-ayat Allah padahal mereka mengetahuinya. Pertanyaannya : “Mana bukti ayat-ayat yang mereka ingkari tersebut?” Jawabannya tentu harus diambil dari Alkitab, bukan dari Al Qur`an.

Informasi & kritikan Qur`an” terhadap Alkitab harus bisa dibuktikan. Untuk itu ikuti serial berikutnya. Insya Allah menarik & menambah wawasan & ilmu pengetahuan, serta mempertebal keimanan kita kepada Al Qur`an. (Bersambung/suara-islam.com]

AHLUSUNNAH WAL JAMAAH

Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Golongan Ahlus Sunnah terdiri dari dua kelompok, iaitu para pengikut Abul Hasan al-Asya'ari dan al-Maturidiyah, iaitu para pengikut Abu Mansur al-Maturidi.
Golongan ini muncul ketika khalifah al-Mutawakil mengangkat/tidak melakukan ujian terhadap ahli fikah dan orang-orang Islam serta menjauhkan diri dari Muktazilah. Dan aliran pemikiran Muktazilah telah kehilangan kendali akibat hilang kepercayaan umum terhadap mereka.
Keraguan-keraguan (penyelewengan) yang telah ditulis oleh golongan Muktazilah dalam jangka waktu yang begitu panjang telah terbongkar. Allah Taala telah melimpahkan kepada dua orang imam agung untuk mempertahankan Islam, mereka ialah Abul Hasan al-Asy'ari di Irak dan Abu Mansur al-Maturidi di negeri di balik sungai.
Kedua imam ini telah memimpin gerakan pemikiran dengan kepimpinan yang seimbang dan bijaksana, tanpa sikap melampau dan ekstrem terhadap akal sebagaimana Muktazilah, dan tidak terlalu bersikap beku terhadap nas (al-Quran dan Hadis) sebagaimana ahli fikah dan ahli hadis.
Jalan yang dilalui oleh Ahlus Sunnah di dalam memahami akidah ialah sebagaimana yang telah dilalui oleh salafus soleh. Mereka menjadikan al-Quran sebagai sumber untuk mengetahui masalah akidah. Mereka memahami akidah mereka dari ayat-ayat al-Quran, dan ayat-ayat yang mengandungi kesamaran (mutasyabihah) akan cuba difahami menggunakan pendekatan bahasa serta tidak diingkari oleh akal fikiran. Jika mereka tidak dapat memahaminya, mereka akan menghentikan dari membuat penafsiran (tawaqquf).
Secara umumnya, Ahlus Sunnah telah melalui jalan tengah yang menghimpunkan antara akal dan naqal (nas). Tidak terdapat perbezaan antara asas mazhab mereka dengan asas ajaran yang dibawa oleh salafus soleh, para ahli fikah dan ahli hadis.
Golongan Ahlus Sunnah ini muncul pada akhir kurun ketiga Hijrah dan awal kurun keempat Hijrah sebagai mendokong ahli fikah dan ahli hadis. Mereka telah mendokong nya secara khusus dan secara umum, dan bangkit menentang golongan Muktazilah, kemudian mengambil alih tempat mereka untuk mempertahankan Islam.
Pemimpin golongan al-Maturidiah ialah Abu Mansur al-Maturidi yang dilahirkan di kampung Maturid di Samarqand. Beliau begitu ikhlas mengembangkan ilmu-ilmu agama, sehingga lahirlah satu mazhab di dalam ilmu Kalam yang diikuti oleh penduduk Khurasan. Beliau meninggal dunia pada tahun 332 Hijrah.
Pemimpin Asya'irah pula ialah Abul Hasan al-As'ari yang dilahirkan di Basrah pada tahun 260 Hijrah. Pada asalnya beliau adalah penganut fahaman Muktazilah, kemudian mengasingkan diri dari orang ramai untuk mencari kebenaran. Sehingga pada suatu hari beliau muncul di hadapan masyarakat dengan hasil karangannya yang membantu Ahlus Sunnah serta menolak Muktazilah. Ajarannya ini telah diikuti oleh para ahli fikah dan ahli hadis. Beliau telah diangkat sebagai imam mereka. Beliau meninggal dunia di sekitar tahun 330 Hijrah.
Tidak terdapat perbezaan antara ajaran Asya'irah dan Maturidiah kecuali di dalam beberapa perkara kecil. Seperti masalah:
- Makrifat, apakah dengan akal atau dengan syarak.
- Pemahaman antara iman dan Islam.
- Makna qadha' dan qadar.
- Makna kasb (usaha).
- Wajib siksa secara syarak.
- Dan lain-lain lagi perselisihan yang biasa berlaku di kalangan ahli di dalam satu-satu mazhab, namun ia tidak membawa kepada jurang yang ketara.
Asas-asas mazhab Ahlus Sunnah
Berikut ini adalah antara asas-asas mazhab ini:
1 . Mengenal Allah adalah secara syarak.
2 . Alam ini adalah baru.
3 . Iman ialah pembenaran (tasdiq), dan amalan adalah penyempurna iman.
4 . Menetapkan (tidak menafikan) sifat-sifat ma'ani Allah.
5 . Al-Quran adalah qadim (bersifat qidam/tidak berpermulaan/bukan makhluk).
6 . Tidak kewajiban ke atas Allah.
7 . Harus bagi hak Allah Taala memberi pahala dan menyiksa (dosa), dan mengutus para rasul. Haru juga melihat Allah Taala.
8 . Allah mengkehendaki kebaikan dan kejahatan.
9 . Qadha' dan Qadar pada perbuatan-perbuatan hamba yang berbentuk ikhtiar.
10 . Allah yang menciptakan perbuatan hamba yang berbentuk ikhtiar.
11 . Tiada siapa yang maksum kecuali para nabi.
12 . Menetapkan adanya soal kubur, nikmat dan siksaannya.
13 . Kebangkitan adalah dengan jasad dan ruh.
14 . Ada syafaat untuk pembuat dosa besar.
15 . Syurga dan neraka itu wujud. Keduanya kekal.
16 . Keimaman agung bukanlah dari rukun agama.

GOLONGAN BAHA'IYAH

Baha'iyah/Babiyah

Baha'iyah merupakan satu aliran sesat yang terkeluar dari Islam. Ia telah menjadi satu agama baru yang asing dari agama Islam. Ia adalah pecahan dari Syiah Imamiyah.
Pengasas Asal Agama Baha'iyah
Agama Bahaiyah diasaskan oleh Mirza Ali Muhamad al-Syirazi. Beliau lahir di Iran sekitar tahun 1152 H/1820 M. Pada asalnya beliau merupakan pengikut mazhab Syiah Imamiyah. Beliau bersikap melampaui batas mazhab Syiah Imamiyah, sehingga digabungkan mazhab berkenaan dengan mazhab Syiah Ismailyiah dan fahaman hulul yang sesat serta menyimpang dari ajaran Islam.
Hulul ialah satu fahaman yang mempercayai bahawa Tuhan menjelma pada makhluknya. Fahaman ini dianuti oleh golongan Saba'iyah.
Ramai dari kalangan penduduk Farsi dari kalangan penganut mazhab Imamiyah yang tertarik dengan ajaran Mirza Ali Muhamad.
Ajaran Agama Baha'iyah
Antara pengakuan-pengakuan Mirza Ali Muhamad yang sesat ialah:
1 . Mengaku bahawa dirinya (Mirza Ali Muhamad) adalah sebagai penyambung suara imam yang tersembunyi. Maksud imam di sini ialah imam Syiah Imamiyah yang keduabelas, iaitu imam Muhamad bin Asyakir. Imam ini dikatakan sebagai telah hilang, dan akan muncul kembali pada akhir zaman sebagai imam al-Mahdi.
2 . Dirinya sebagai pintu kepada imam. Dengan ini beliau bergelar `al-Bab'.
3 . Beliau mendakwa telah memindahkan ilmu imam ke dalam dirinya.
4 . Beliau mendakwa sebagai imam al-Mahdi.
5 . Mendakwa bahawa Allah telah menjelma di dalam dirinya. Dirinya telah dipilih oleh Allah untuk menampakkan diriNya kepada makhluk.
6 . Beliau mendakwa bahawa pada akhir zaman nanti, bukan setakat nabi Isa a.s. sahaja yang akan kembali ke dunia, tetap juga nabi Musa a.s.
Kemudian beliau mengemukakan akidah-akidah dalam agamanya, iaitu:
1 . Tidak mempercayai tentang wujudnya kiamat, syurga tempat pembalasan bagi orang beriman dan neraka tempat siksaan orang yang engkar. Beliau menyatakan bahawa pertemuan dengan Allah di akhirat kelak adalah simbol terhadap kehidupan kerohanian yang baru.
2 . Beliau mengisytiharkan bahawa dirinya adalah jelmaan sebenarnya dari semua nabi yang terdahulu. Semua risalah yang dibawa oleh nabi-nabi bersatu dalam dirinya. Sebab itulah semua ajaran agama bertemu di dalam dirinya. Oleh itu beliau mengatakan bahawa semua gama itu adalah sama sahaja.
3 . Kepercayaan terhadap hulul, iaitu Allah menjelma di dalam dirinya secara langsung.
4 . Beliau tidak mengakui bahawa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhamad adalah risalah terakhir.
5 . Beliau sentiasa menyebutkan kumpulan huruf-huruf dan hitungan angka untuk masing-masing huruf. Menurut pendapatnya, angka-angka tertentu mempunyai pengaruh tertentu. Contoh, angka sembilan belas (19) mempunyai kedudukan khusus yang tinggi.
6 . Beliau menetapkan bahawa Wanita sama taraf dengan lelaki dalam masalah warisan dan lainnya.
Mirza Ali Muhamad telah membukukan pendapat-pendapat sesatnya di dalam buku bernama al-Bayan.
---------
Kematian Mirza Ali Muhamad dan penggantinya
Sebelum meninggal dunia Mirza Ali Muhamad telah memilih dua orang pengikutnya sebagai penggnati. Mereka ialah Subh `Azal dan Baha'ullah.
Subh `Azal dan Baha'ullah telah dibuang negeri dari Farsi. Subh 'Azal dibuang ke Cyprus dan Baha'ullah di satu wilayah di Turki. Pengikut Baha'ullah lebih ramai berbanding dengan pengikut Subh 'Azal.
Baha'ullah
Nama agama Baha'iyah di ambil sempena nama Baha'ullah. Kadangkala dinisbahkan kepada gelaran pengasasnya al-Babiyah.
Antara kesesatan ajaran yang dibawa oleh Baha'ullah:
1 . Membawa kesesatan yang sama dengan gurunya Mirza Ali. Dan Beliau mengaku bahawa kedudukan dirinya setaraf dengan gurunya. Bahkan didakwa lebih agung dari gurunya.
2 . Beliau mengaku bahawa Tuhan telah menjelma di dalam dirinya. Beliau adalah sebagai penyempurna ajaran yang telah dibawa oleh gurunya.
3 . Beliau menggelar dirinya sebagai `Mazharullah' atau `Manzhurullah'. Iaitu Tuhan menjelma dalam pemunculannya dengan keelokan zat ketuhanan, di mana keelokan itu tidak dapat ditandingi oleh kecantikan wajah perempuan. Dari itu, para pengikutnya melihat Baha'ullah bukan sebagai manusia biasa.
4 . Beliau telah membukukan ajaran syiriknya. Di dalamnya menentang al-Quran dan buku gurunya al-Bayan. Buku yang paling terkenal ialah al-Aqdas. Antara dakwaan sesat yang terkandung di dalam buku berkenaan:
a . Isikandungannya diwahyukan Allah kepadanya.
b . Beliau kekal bersama kekalnya zat Allah.
c . Buku berkenaan mewakili seluruh ilmu ketuhanannya, tetapi masih ada ilmu lain yang khusus diberikan kepada para sahabat pilihannya. Selain dari mereka tidak ada yang dapat menerima dan mempraktikkan ilmu kebatinan ini.
Antara seruan Baha'ullah yang penting ialah:
1 . Beliau berpendapat bahawa apa yang diserukannya merupakan agama baru yang bukan Islam.
2 . Membuang semua ikatan keislaman, sehingga aliran ini tidak ada kena mengena dengan agama Islam.
3 . Ia menyamaratakan semua manusia yang berlainan warna kulit, agama dan isi ajarannya.
4 . Beliau mencipta undang-undang keluarga baru serta menentang undang-undang keluarga Islam.
5 . Beliau menghapuskan sembahyang berjamaah kecuali sembahyang jenazah.
6 . Ka'bah bukanlah kiblat para pengikutnya. Kiblat mereka ialah tempat di mana Baha'ullah duduk.
7 . Hukum-hakam syarak dalam jual beli dibatalkan oleh beliau.
8 . Beliau menyerang para ulamak Islam, para pendeta Kristian dan Yahudi.
Kematian Baha'ullah dan Penggantinya
Baha'ullah mati pada bulan May tahun 1892. Agamanya Baha'iyah telah diganti oleh anaknya Abbas Afandi. Beliau digelar sebagai Abdul Baha' atau Ghusn A'zhom (cabang mulia).
Abbas tidak seperti ayahnya yang mengajarkan ajaran penjelmaan tuhan di dalam diri. Beliau lebih menumpukan kajian terhadap kita-kitab suci Yahudi dan Kristian untuk dipelajari.
Jika Mirza Ali Muhamad sebagai pengasas agama Baha'iyah telah menghancurkan Islam atas nama pembaharuan, maka penerusnya iaitu Baha'ullah telah menyempurnakannya dengan mengingkari dan membuang seluruh ajaran Islam. Manakala Abbas pula merasakan tidak cukup dengan hanya membuang ajaran Islam, lalu beliau pergi kepada kitab-kitab suci Yahudi dan Kristian untuk mengambil ajarannya sebagai ganti dari al-Quran.
Siapakah Penganut Agama Baha'iyah
Oleh kerana Abbas menyandarkan agama Baha'iyah kepada kitab suci Yahudi dan Kristian, maka ramailah penganut-penganut agama Yahudi, Kristian dan Majusi yang terpengaruh dengannya.
Guru pertama dan kedua agama Baha'iyah telah gagal dan kecewa mempengaruhi kaum muslimin. Dan guru ketiganya telah beralih arah untuk mempengaruhi para penganut agama Yahudi, Kristian dan Majusi.
Pusat Agama Baha'ullah
Agama Baha'ullah telah berkembang di Amerika Syarikat. Markaz utamanya ialah di Chicago.
Pandangan Islam Terhadap Agama Baha'iyah
1 . Agama Baha'iyah adalah satu agama baru yang tidak ada kena mengena dengan Islam. Ia bukan satu mazhab dari mazhab-mazhab Islam, samada mazhab yang benar atau yang sesat.
2 . Berdasarkan kepada isikandungannya yang mengandungi kesyirikan, maka sesiapa yang mempercayainya dianggap telah murtad dari agama Islam - Na'uzubillahi Min Zalik.
3 . Islam adalah agama yang berdasarkan kepada prinsip tauhid kepada Allah yang Maha Esa. Islam menolak dengan tegas fahaman syirik seperti Allah menjelma di dalam diri seseorang.
4 . Nabi Muhamad adalah penutup segala rasul-rasul. Tidak ada rasul yang akan dibangkitkan selepas itu. Dengan berakhirnya pengutusan rasul dan nabi, maka berakhir juglah penurunan wahyu dari Allah Taala. Oleh itu barangsiapa yang mendakwa dirinya sebagai rasul atau menerima wahyu dari Allah, maka dakwaan itu adalah dakwaan yang paling dusta.
5 . Al-Quran adalah penutup segala kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah. Ia adalah mukjizat tentang kebenaran pengutusan Muhamad sebagai Rasulullah. Al-Quran adalah terpelihara dari penyelewengan sehingga hari kiamat. Undang-undang dan hukum-hakam yang ada di dalamnya sesuai untuk setiap zaman dan keadaan. Ia tidak boleh diubah oleh sesiapapun. Oleh itu barangsiapa yang mendakwa bahawa ada kitab suci lain setelah al-Quran, maka dia adalah pendusta. Begitu juga dengan mengingkari salah satu dari hukum-hakamnya, maka dia telah terkeluar dari ajaran Islam yang suci.
6 . Segala ilmu mengenai tauhid dan syariat Islam telah sempurna diturunkan oleh Allah melalui perantaraan nabi Muhamad s.a.w.
Oleh itu adalah tidak benar jika ada orang yang mendakwa bahawa ada ilmu lain mengenai tauhid dan syariat yang tidak diberitahu kecuali orang-orang tertentu sahaja. Dan Rasulullah s.a.w. sendiri adalah bersifat dengan sifat Tabligh dan Amanah. Tidak mungkin Baginda s.a.w. menyembunyikan syariat Allah dari pengetahuan umatnya.
7 . Sebagai umat Islam, kita hendaklah sentiasa berpegang teguh kepada isi ajaran al-Quran dan Sunnah NabiNya. Kita tidak boleh mensyirikkanNya, menerima sebahagian serta mengingkari sebahagiannya, atau menolak semuanya.
8 . Sentiasalah berusaha dan berdoa agar Allah tidak memesongkan keimanan kita.

SALAFI, WAHABI DAN KHAWARIJ

Membaca Salafi, Wahabi dan Khawarij

Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

--------------------------------------------------------------
AKHIR-AKHIR INI, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh. Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.

Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka. Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.

DEFINISI SALAFI

Jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.[2] Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi'in dan tabi' tabi'in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.[3] Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup dimasa lalu dari kalangan para sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.[4] Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.[5] Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad ke-empat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.[6]

Pada hakekatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pamuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia. Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud -yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyak bumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain diluar wilayah Saudi.[7]

Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul "as-Salafiyah al-Wahabiyah" menyatakan: "Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hambaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy". Sayyid as-Saqqaf menambahkan: "Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hambali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja'), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hambali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesan celaan". Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: "Pada hakekatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hambali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah". Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: "Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hambali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hambali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hambali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka".[8] Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi (pembenci keluarga Nabi saw), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.

PELOPOR PEMIKIRAN “KEMBALI KE METODE AJARAN SALAF”

Ahmad bin Hambal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hambali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hambal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama. Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain –yang dianggap ajaran diluar Islam yang kemudian diadobsi oleh sebagian muslim- akan membahayakan nasib teks-teks agama.

Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hambal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini”.[9] Konsekwensi dari ungkapan Ahmad bin Hambal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya –termasuk Ibnu Taimiyah- terjerumus kedalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyah al-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.

Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hambal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia”, “Tuhan bisa dilihat”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya kedalam Neraka” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hambal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan”.[10]

Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.[11] Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”,[12] atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam”[13], lantas, disisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”.[14] Apakah ayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arsy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas. Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakekat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslimin pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.

Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hambal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat)…dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama. Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah”. Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, mereka telah terjerumus kedalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri”.[15] Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahn-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.[16] Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri, termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hambal sendiri.[17]

FAKTOR MUNCULNYA KELOMPOK SALAFI

Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan factor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu –yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hambal- adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah kelimuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali kepemikiran Salaf”.[18] Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.

Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah dizamannya. Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hambal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’ ” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hambal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu. Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutan Ahlusunnah pun akhirnya didentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor dimata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hambal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab imam Ahmad bin Hambal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah) -yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- serta tindakan arogansi yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kalompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.

KECURANGAN KELOMPOK SALAFI

Setiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya. Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrik adalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Disisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengkafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah. Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca shalawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelas konsekwensi hukumnya dalam ajaran Islam.

Singkat kata, kebencian itu bukan hanya dilancarkan kepada Ahlusunnah, namun terlebih pada kelompok Syiah. Kebencian kaum Salafi terhadap Syiah, bahkan dilakukan dengan cara-cara tidak ilmiah bahkan cenderung arogan dan premanisme, sebagaimana yang dilakukannya di beberapa tempat. Mereka tahu bahwa kelompok Syiah sangat produktif dalam penerbitan buku-buku, terkhusus buku-buku agama. Karya-karya ulama Syiah mampu mengikuti perkembangan zaman dan dapat memberi masukan dalam menyelesaikan problem intelektual yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Ulama Syiah mampu mengikuti wacana yang sedang berkembang, plus cara penyampaiannya pun dilakukan dengan cara ilmiah. Hal itulah yang menyebabkan kecemburuan kelompok Salafi terhadap Syiah kian menjadi. Akhirnya, sebagai contoh perbuatan licik yang mereka lakukan, sewaktu diadakan pameran Internasional Book-Fair di Mesir, dimana kelompok Syiah pun turut memeriahkan dengan membuka beberapa stand di pameran tersebut, melihat hal itu, kelompok Salafi (Wahabi) memborong semua kitab-kitab Syiah di stand-stand yang ada, yang kemudian membakar semua kitab yang dibelinya.[19]

Jika mereka berani bersaing dengan kelompok Syiah dari sisi keilmiahan, kenapa mereka melakukan hal itu? Perlakuan mereka semacam itu sebagai salah satu bukti kuat, bahwa mereka tidak terlalu memiliki basis ilmiah yang cukup mumpuni sehingga untuk menghadapi Syiah, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali harus menggunakan cara-cara emosional yang terkadang cenderung arogan itu. Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.

Segala bentuk makar dan kebohongan untuk mengahadapi rival akidahnya merupakan hal mubah dimata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.

Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi –yang didukung dana begitu besar- berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standart Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standart ajaran –termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir- mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk merubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka. Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Merubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah merubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsir beliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hambali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali. Kitab Syarah Shohih Muslim pun (telah dirubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali”.[20]

Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).

Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat”, disitu, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah. Dalam hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah diantara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini -risalah- maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)...”. Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi; “Washi (pengganti) dan Khalifah-ku”. Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliau nukil dari Shohih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan peringkasan kitab-kitab standard, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama. Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:
“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rofidhi”.[21]

SALAFI (WAHABI) DAN KHAWARIJ

Tidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Disini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw, dimana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.[22]

Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekwensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam mensifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[23] Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim. Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.

Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan”,[24] maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan dibeberapa tempat, terkhusus diwilayah Hijaz dan Iraq kala itu.

Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.

Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.

Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas temggorokan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari busurnya. Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.[25] Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.[26] Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai goncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah”.[27] Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Disana akan muncul qorn setan”. Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.[28]

Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan kesegala penjuru dunia.
Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.

Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut. Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi –seperti al-Qaedah- melakukan aksi teror diberbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.

Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.


Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomaini Qom, Republiks Islam Iran.


Rujukan:
[2] Lisan al-Arab Jil:6 Hal:330
[3] As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Hal:9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi
[4] As-Shohwat al-Islamiyah Hal:25, karya al-Qordhowi
[5] Al-Aqoid as-Salafiyah Hal: 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi
[6] Al-Madzahib al-Islamiyah Hal:331, karya Muhammad Abu Zuhrah
[7] Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud”. Karya ini berulang kali dicetak. Disitu dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.
[8] Selengkapnya silahkan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet: Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania
[9] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:165, karya as-Syahrastani
[10] Fi ‘Aqo’id al-Islam Hal:155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya)
[11] Ayat-ayat al-Quran yang bebunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran. Ini semua salah satu bukti konkrit bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keturutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.
[12] Q S Thoha:5
[13] Al-Washiyah al-Kubra Hal:31 atau Naqdhu al-Mantiq Hal:119 karya Ibnu Taimiyah
[14] Q S as-Syura:11
[15] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:84
[16] Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun paea kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa disamping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majlis fatehah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.
[17] Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran imam Ahmad bin Hambal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul, yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab musnadnya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib. (lihat: Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:329) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: Jil:4 Hal:682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?
[18] al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hambal Hal:38
[19] As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah Hal:680
[20] Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah Hal:249
[21] Diwan as-Syafi’i Hal:55
[22] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:118
[23] Sohih Bukhari Jil:4 Hal:197
[24] Majmu’ al-Fatawa Jil:13 Hal:32, karya Ibnu Taimiyah
[25] Shahih Bukhari, kitab at-Tauhid Bab:57 Hadis ke-7123
[26] Irsyad as-Saari Jil:15 Hal:626
[27] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:81 atau Jil:4 Hal:5
[28] Al-Qomuus Jil:3 Hal:382 kata: Qo-ro-na


http://suara-muhammadiyah.com/?p=541

SEJARAH ALI

Mu’arif

Semasa pemerintahan Ali, kebijakan-kebijakannya cenderung membersihkan
para pejabat dari keturunan klan Umayyah dalam struktur pemerintahan. Kebijakan ini jelas berseberangan dengan pendahulunya, Usman bin Affan. Menurut Ali, para keturunan Umayyah dianggap sebagai sumber kerusuhan. Meski sempat ditegur oleh Mughirah bin Syu’bah, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abdullah bin Umayyah, tetapi Ali tetap bersikeras menjalankan kebijakannya.
Dari pihak Bani Umayyah menghendaki supaya khalifah Ali menegakkan hukum atas pembunuh Usman. Jika Ali tidak bisa menegakkan hukum bagi pembunuh Usman, maka Muawiyah beserta pengikutnya mengancam akan menyusun kekuatan dengan alasan menuntut balas. Tuntutan dari pihak Muawiyah semakin memperkeruh keadaan, sehingga di antara para sahabat lebih mengambil langkah diam dan menarik diri dari percaturan politik umat.
Tuntutan dari pihak Muawiyah sebetulnya merupakan siasat politiknya, karena dia sendiri berambisi untuk menduduki kekuasaan. Pertentangan antara Ali dan Muawiyah semakin meruncing ketika masing-masing bertahan pada prinsip yang berbeda.
Tidak hanya pihak Muawiyah yang menuntut agar Ali menegakkan hukum atas pembunuh Usman, tetapi Aisyah, janda Nabi saw, juga meminta ketegasan sang khalifah. Aisyah bersama pengikut-pengikutnya mengorganisir suku-suku di sekitar Makkah untuk memberontak. Sahabat Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah turut mendampingi pasukan Aisyah ini. Aisyah merasa sudah tidak punya harapan lagi kepada khalifah Ali. Kegagalan atas pengusutan pembunuhan Usman bin Affan sudah tampak jelas.
Perlu dicatat bahwa perlawanan ini sama sekali tidak memiliki tendensi politik apa pun. Gerakan Aisyah bersama pasukannya murni bertujuan untuk menekan khalifah Ali agar menegakkan hukum atas pembunuh Usman. Dengan demikian, mereka tidak memiliki ambisi kekuasaan. Mereka ini juga tidak berkoalisi dengan kelompok Muawiyah yang berambisi merebut kursi khalifah.
Ali betul-betul dalam posisi sulit. Pemerintahannya dihadapkan pada dua perlawanan, yang justru datang dari umat Islam sendiri. Perlawanan pertama datang dari kelompok Muawiyah yang menuntut balas atas pembunuhan Khalifah Usman, namun tuntutan tersebut tidak lebih sebatas kepentingan politik semata. Adapun perlawanan kedua ialah kelompok Aisyah yang sudah tidak percaya lagi terhadap khalifah. Kegagalan atas penegakan hukum atas kasus pembunuhan Usman bin Affan menyebabkan kelompok ini memerangi pemerintahan yang dianggap dlalim itu.
Perseteruan pihak Ali dengan Aisyah melahirkan Perang Jamal (Perang Unta) pada tahun 656 M di dekat Bashrah. Meskipun jumlah tentara lebih banyak di pihak Aisyah, namun strategi perang lebih dikuasai oleh pasukan Ali. Sudah barang tentu, dapat ditebak, siapa yang keluar sebagai pemenang dalam Perang Jamal ini. Setelah menelan kekalahan dalam Perang Jamal, Aisyah memutuskan menarik diri dari pentas perpolitikan umat dan kembali ke Madinah.
Sebuah permasalahan telah teratasi, bagi khalifah Ali, namun masalah yang lebih besar menghadang di depan mata. Konspiras politik dari pihak Muawiyah beserta antek-anteknya bukanlah masalah yang enteng. Terlebih lagi, ketika sahabat Amru ibn Ash yang merupakan seorang cendikiawan, politikus, dan orator ulung, telah bergabung bersama Muawiyah.
Puncak dari perseteruan antara Ali dan Muawiyah ketika meletus Perang Siffin. Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 36 H (657 M). Masing-masing bertempur dengan kekuatan 95.000 tentara di pihak Ali dan 85.000 tentara di pihak Muawiyah. Pertempuran tersebut menelan korban sebanyak 35.000 tentara di pihak Ali dan 45.000 tentara di pihak Muawiyah.
Perang Siffin tidak dimenangkan oleh siapa pun. Karena, tak terlihat tanda-tanda perang bakal berakhir, menjelang bulan Shafar, khalifah Ali bin Abu Thalib mengutus panglima Basyir ibn Amr untuk menawarkan perundingan dengan pihak Muawiyah. Akan tetapi, Muawiyah bersikeras menolak tawaran perundingan tersebut, bahkan dia menuntut baiat umat Islam atas dirinya. Melihat sikapnya yang cenderung melawan, maka telah jelas bahwa Muawiyah telah menghendaki perang sampai penghabisan.
Di saat perang berkecamuk, dari pihak Muawiyah melalui perantara Amr ibn Ash mengajak berdamai. Tentu saja tawaran damai ini kelihatan agak ganjil. Apalagi ketika Amr bin Ash menyeru, “Marilah bertahkim kepada Kitab Allah!” Amr bin Ash berkali-kali menyeru seraya menggantungkan al-mushaf pada ujung tombak.
Sesungguhnya, sikap semacam itu merupakan manuver politik dari Amru ibn Ash untuk mengelabui umat Islam yang tengah bersengketa. Menurut pembacaan Amr bin Ash, pihak Muawiyah akan sulit meraih kemenangan dalam pertempuran ini karena bala tentara mereka kalah jauh dari segi jumlahnya.
Ternyata, manuver Amru ibn Ash sangat jitu. Para pengikut Ali mulai bimbang dan beberapa tentara sempat menghentikan perang. Namun, Ali dapat membaca siasat licik nan busuk ini dengan tetap memerintahkan pasukannya untuk terus berperang. Pengikut-pengikut Ali yang kebanyakan dari kalangan Muslim taat (literalis) tidak bisa menolak atas ajakan bertahkim tersebut. Terlebih ketika mereka melihat Mushaf Al-Qur’an yang diacung-acungkan di ujung tombak.
Siasat licik Amr bin Ash betul-betul jitu! Di kalangan pengikut Ali timbul perselisihan pendapat yang cukup tajam. Para pengikut Ali pecah: antara mereka yang terus melanjutkan perang dan yang memilih untuk menyudahinya.
Karena, mayoritas pengikut Ali adalah Muslim taat, maka dia pun dengan sangat terpaksa menghentikan peperangan. Terjadilah tahkim (arbitrase) antara dua kubu, dari pihak Muawiyah diwakili olah oleh Amr bin Ash dan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari.
Sewaktu pasukan Ali pulang dari Siffin, terdapat kelompok yang tidak puas atas putusan tahkim. Menurut mereka, telah jelas mana yang salah dan mana yang benar dalam kasus Perang Siffin. Secara politis, tahkim telah memojokkan posisi Ali beserta pengikut-pengikutnya. Ketika tawaran damai dari pihak Muawiyah disetujui oleh Ali, secara tidak langsung, dia telah membiarkan orang-orang yang bertahkim tersebut bergerak leluasa. Atas dasar inilah, menurut mereka, khalifah Ali dinilai telah berkhianat. Kelompok ini kemudian membelot dan memisahkan diri dari jamaah pengikut Ali. Untuk selanjutnya, kelompok ini berbalik arah memusuhi khalifah Ali dan pengikut-pengikutnya. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij.
Arbitrase memberi keuntungan besar bagi pihak Muawiyah, tetapi merugikan pihak Ali. Hasil tahkim ini justru telah menurunkan legitimasi kekuasaan Ali. Keberhasilan Muawiyah dalam proses tahkim tidak lepas dari strategi Amr bin Ash.
Adapun pendukung setia khalifah Ali, mereka inilah yang kemudian disebut sebagai kelompok Syiah. Sementara, di kalangan umat Islam yang tidak mengambil sikap atas kasus ini (netral), mereka cenderung bersikap moderat. Mereka berpandangan bahwa kasus tahkim cenderung menyalahkan satu pihak. Oleh karena itu, mereka menawarkan pandangan baru atas kasus ini, yakni dengan konsep “irja.” Maksudnya ialah menangguhkan keputusan atas kasus fitnah kubra ini. Mereka lebih menggantungkan keputusan kepada Allah SwT yang diyakini akan memutuskan dengan adil di akhirat nanti. Kelompok ini kemudian menjadi bibit gerakan Murji’ah yang dikenal cukup moderat.
Khalifah Ali bin Abu Thalib terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, mantan pengikutnya yang membelot pasca peristiwa tahkim. Rupanya, kelompok Khawarij menganggap khalifah Ali sebagai pengkhianat, sehingga dia menjadi target pembunuhan dalam gerakan ini. Ali bin Abu Thalib wafat pada tanggal 12 Ramadlan tahun 40 H (661 M).

SYI'AH

Syiah

Syiah adalah selompok Islam yang paling tua. Pada asalnya mereka adalah golongan yang berpendapat keutamaan kaum keluarga Nabi s.a.w. (ahlul bait) terhadap jawatan khalifah. Dan ahlul bait yang paling berhak ialah Ali bin Abi Talib r.a.
Mazhab mereka ini zahir pada akhir zaman pemerintahan Usman bin Affan r.a. I berkembang dan tersebar pada zaman pemerintahan Ali r.a. Di mana, apabila Ali r.a. menduduki tempat yang tertinggi (memeruntah) golongan Syiah mengambil kesempatan untuk menyebarluaskan ajaran mereka di kalangan manusia.
Apabila tiba pada zaman pemerintahan Bani Umaiyah telah berlaku kezaliman ke atas penyokong-penyokong Ali. Umat Islam pula melihat bagaimana Ali dan anak-anaknya terkorban sebagai syuhada' dari kezaliman yang berlaku. Faktor kezaliman ini menyebabkan mazhab Syiah semakin tersebar dan mempunyai ramai penyokong.
Asas-asas mazhab Syiah
Berikut ini adalah sebahagian dari asas-asas mazhab Syiah:
1 . Imamah (pemerintahan) bukan sebahagian dari mashlahat `amah yang perlu diserahkan kepada umat untuk dirundingkan (mesyuarat). Malahan, ia dianggap sebagai rukun dan teras kepada Islam. Nabi tidak boleh melupakan atau melalaikannya. Sebaliknya baginda wajib melantik imam untuk umat ini, dan imam yang dilantik itu adalah maksum (terpelihara) dari dosa besar dan kecil.
2 . Rasulullah s.a.w. telah melantik Ali r.a. sebagai khalifah dengan nash yang dinukilkan dan ditakwilkan oleh golongan Syiah dengan nukilan yang tidak pernah diketahui bahawa ia adalah nukilan syariat dan ahli hadis.???
Dari sinilah munculnya pemikiran wasiat dan menggelar Ali dengan gelaran al-washi. Ia bermaksud bahawa Ali itu adalah imam dengan nash bukan dengan pilihan ataupun syura. Dan Ali kemudian berwasiat pula kepada keturunan selepasnya. Begitulah seterusnya para imam Syiah adalah penerima wasiat dari imam sebelumnya.
3 . Ali r.a. merupakan makhluk yang paling afdal di dunia dan akhirat selepas Rasulullah s.a.w. Oleh itu, barangsiapa yang memusuhi Ali atau memeranginya, maka dia adalah musuh Allah melainkan jika dia sempat bertaubat sebelum kematiannya dan mati dalam keadaan mencintai Ali.
4 . Syiah ini tidak wujud dalam satu kedudukan sahaja, malahan terdapat di kalangan mereka yang melampau dan taksub.
Golongan sederhana dari kalangan Syiah berpendapat keutamaan/keafdalan Ali berbanding dengan para sahabat lainnya tanpa mengkafirkan atau menfasikkan sesiapapun. Mereka mengiktiraf kesahihan imam yang kurang utama disamping wujud imam yang lebih utama. Mereka mengatakan bahawa, tidak ada beza di antara Nabi s.a.w. dan Ali r.a. kecuali martabat kenabian sahaja. Selain dari martabat itu, mereka memberikan kepada Ali r.a. segala sifat yang ada pada Rasulullah s.a.w.
Golongan yang ekstrem dan melampau pula, tidak memadai dengan hanya mengatakan keutamaan Ali di atas khulafa'ur Rasyidin dan kemaksumannya, malahan mereka mengangkat Ali hingga ke martabat kenabian. Sebahagian dari mereka ada yang mempertuhankan Ali. Terdapat juga yang mendakwa bahawa Allah Taala bersatu di dalam diri Ali (hulul). Ada sebahagiannya yang berkata bahawa setiap ruh imam diresapi dengan sifat-sifat ketuhanan (uluhiyah) yang dapat berpindah kepada imam-imam berikutnya.
Pada hakikatnya, fahaman mencintai Ali (tasyaiyu') merupakan tempat berlindung:
- Orang-orang yang mahu menghancurkan Islam kerana sikap permusuhan atau dendamnya.
- Orang-orang yang mahu memasukkan ajaran nenek moyang mereka ke dalam Islam, yang terdiri dari kalangan bekas penganut Yahudi, Nasrani, Majusi dan lain-lain.
- Orang-orang yang mahu memerdekakan negeri mereka dan keluar dari pemerintahan Islam.
Setiap orang dari mereka ini menjadikan kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai tabir yang disebaliknya terdapat segala apa yang hawa nafsu mereka mahukan.

GOLONGAN QADARIYAH

Qadariyah

Iraq merupakan tempat berkumpulnya banyak anasir yang terdiri dari beberapa umat yang menganut pelbagai agama. Basrah pula merupakan lautan yang membawa ombak-ombak pemikiran dan aliran.
Ma'bad bin Khalid al-Juni (salah seorang dari yang duduk di majlis pengajian Hasan al-Basri) telah mendengar orang yang mengatakan bahawa maksiat itu telah dilakukan kerana telah ditakdirkan. Lalu beliau berdiri dan menolak pendapat mereka dengan menafikan keadaan takdir itu menafikan ikhtiar. Beliau telah bersikap keterlaluan di dalam mempertahankan pendapatnya sehingga masyhur kata-katanya: "Tiada takdir, dan setiap perkara itu baru bermula. "
Ketika pemikiran Ma'bad sampai ke pengetahuan Ibnu Umar, beliau berlepas diri daripadanya dan para pengikutnya.
Asas-asas mazhab Qadariyah
1 . Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.
2 . Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
3 . Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.
4 . Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
5 . Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
6 . Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
7 . Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'), selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.

Para ulamak telah bangkit menentang pendapat Qadariyah atas dua sebab, iaitu:
Sebab pertama: Masalah pemaksaan yang membawa kepada ta'thil dan meninggalkan amal dan rukun kepada takdir.
Sebab kedua: Sikap melampau mereka di dalam mentakwilkan ayat-ayat al-Quran yang menyebutkan dan menetapkan sifat-sifat Allah. Takwilan-takwilan ini membawa bahaya kepada al-Quran dan kefahaman makna-maknanya.
Ramai para ulamak yang mengkafirkan golongan Qadariyah.
Dakwah mereka ini telah dipimpin oleh dua orang tokoh, iaitu:
Pertama: Ma'bad bin Khalid al-Juhni di Iraq. Beliau telah terbunuh ketika keluar berperang bersama Ibnu al-Asy'as dengan al-Hajjaj.
Kedua: Ghailan bin Marwan al-Dimasyqi di Damsyiq. Umar Abdul Aziz telah memanggilnya dan berdebat dengannya sehingga beliau bertaubat. Semasa Hisyam bin Abdul Malik memerintah, beliau telah dibunuh.
Golongan Qadariyah dihukumkan kafir kerana keingkaran mereka terhadap takdir.
Mazhab Qadariyah dan Jabbariyah telah lenyap. Keduanya tidak lagi wujud secara berdiri sendiri. Dan kesannya dapat kita lihat pada mazhab Muktazilah.
Sehingga kini masalah al-jabar (keterpaksaan) dan ikhtiar masih diperselisihkan oleh para pengkaji

GOLONGAN MUKTAZILAH

Muktazilah

Kemunculan Muktazilah adalah berasaskan kepada perselisihan yang berlaku di antara Washil bin Atho' dengan gurunya Hasan al-Basri mengenai hukum orang yang melakukan dosa besar. Golongan Muktazilah dinisbahkan kepadanya.
Kisah perselisihan itu berlaku semasa majlis pengajian Hasan al-Basri. Di mana seorang lelaki telah masuk dan berkata kepada Hasan al-Basri: "Wahai imam agama, telah lahir pada zaman kita ini segolongan orang yang mengkafirkan pembuat dosa besar, mereka adalah Khawarij. Segolongan lagi ialah mereka yang mengmbalikan hukum ke atasnya. Mereka berkata: "Tidak memberi mudarat kemaksiatan jika mempunyai iman, sebagaimana tidak memberi manfaat ketaatan jika dalam kekafiran. Mereka adalah golongan Murji'ah."
Hasan al-Basri berfikir. Sebelum beliau menjawab, Washi bin Atho' berkata: "Aku tidak berpendapat bahawa pembuat dosa besar itu sebagai mukmin secara mutlak dan tidak kafir secara mutlak. Malahan dia akan berada di suatu tempat di antara dua tempat."
Kemudian Washil meminggirkan diri ke suatu sudut di dalam masjid berkenaan, dan mendirikan mazhabnya sendiri. Lalu Hasan al-Basri berkata: "Washil telah mengasingkan (I'tizal) diri dari kami." Ini menjadi sebab mereka diberi nama dengan Mu'tazilah.
Washil telah dilahirkan di Madinah pada tahun 80 Hijrah, dan meninggal dunia pada tahun 131 Hijrah di Basrah.
Mazhabnya telah tersebar di Iraq, dan sebahagian dari khalifah Bani Abbasiyah telah mengikut fahaman ini.
Pada zaman pemerintahan Bani Abbasiyah, mereka mempunyai dua buah madrasah. Yang pertama di Basrah dan yang kedua di Baghdad. Telah berlaku perdebatan dan perselisihan di antara dua madrasah ini mengenai banyak masalah.
Cara pembahasan mereka
Mereka menggunakan akal fikiran untuk setiap perkara dan cuba memperolehinya melalui jalan ini. Mereka mempunyai satu kelebihan yang hebat di dalam mempertahankan Islam, kerana mereka telah bangkit menentang orang-orang dari penganut akidah yang sesat dan dari agama-agama lain dengan hujah dan bukti.
Namun, Muktazilah telah bersikap ekstrim di dalam sebahagian pendapatnya dan pencelaan mereka terhadap ahli fikah dan ahli hadis.Begitu juga sokongan khalifah-khalifah Abbasiyah terhadap mereka, seperti al-Makmun yang secara kekerasan memaksa rakyat agar menerima mazhab mereka serta menyiksa para ahli fikah dan ahli hadis. Dengan ini rakyat telah menyifatkan mereka sebagai telah terpesong dari ajaran agama. Sebagaimana yang telah diketahui bahawa akal itu terpengaruh dengan suasana dan hawa. Syarak adalah lampu yang menyinari jalan di hadapan akal.
Asas-asas mazhab Muktazilah
Antara asas-asas ajaran Muktazilah ialah:
1 . Wajib mengenal Allah dengan (berdasarkan) akal.
2 . Mengingkari sifat Ma'ani, dan berpendapat al-Quran itu adalah makhluk.
3 . Menafikan melihat Allah (rukyah) kerana akan membawa kepada menjisimkan dan memberi arah kepada Allah.
4 . Berpendapat bahawa baik dan buruk adalah berdasarkan kepada akal.
5 . Allah mengkehendaki kebaikan dan tidak mengkehendaki kejahatan. Allah wajib membuat yang baik dan terbaik untuk makhlukNya.
6 . Hamba mencipta perbuatan-perbuatannya sendiri dengan kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya.
7 . Allah wajib melaksanakan janji baik dan janji ancaman. Allah juga wajib mengutuskan rasul.
8 . Pembuat dosa besar akan berada di satu tempat di antara dua tempat, dan tiada syafaat untuknya.
9 . Wajib melakukan amar makruf dan nahi munkar.

GOLONGAN MURJI'AH

Murji'ah

Kemunculan
Para pengikut Ali berpecah kerelaannya menerima Tahkim kepada Khawarij dan Syiah. Di mana Khawarij mengkafirkan Ali, Usman dan jurucakap Tahkim. Manakala Syiah pula sebahagiannya mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Usman dan pendokong-pendokong mereka. Dan kedua-dua aliran ini pula sama-sama mengkafirkan bani Umaiyah dan melaknat mereka. Bani Umaiyah pula mengatakan bahawa kaum muslimin ialah mereka yang berada di bawah panji-panji mereka, tunduk patuh samada suka ataupun benci.
Ini menjadi sebab sekumpulan dari kalangan para sahabat membenci perselisihan yang berlaku. Lalu mereka mengambil jalan tengah hingga benar-benar nyata fitnah berkenaan. Kerana inilah mereka enggan mencampuri urusan orang-orang yang berselisih. Mereka tidak membebankan diri mereka untuk membahaskan mengenai siapa yang benar dari kalangan dua kelompok yang berselisih dan berperang. Mereka mengembalikan hukum tentang keadaan mereka kepada Allah s.w.t. Sebab itulah mereka digelar sebagai al-Murji'ah.
Asas-asas mazhab Murji'ah
Berikut ini adalah sebahagian dari asas-asas mazhab Murji'ah:
Mereka berpendapat bahawa kelompok-kelompok yang berselisih itu masih beriman, sekalipun sebahagian mereka itu ada yang benar dan sebahagian mereka ada yang salah. Kerana mereka tidak mampu untuk menentukan yang mana benar dan yang mana bersalah, maka dikembalikan hukum itu kepada Allah Taala. Golongan yang berselisih ini beriman kerana mereka masih mengucap dua kalimah Syahadah. Kemudian asas ini berkembang pada masa berikutnya:
a . Iman itu ialah dengan pembenaran (tasdiq) dan makrifah (mengenal Allah). Amal pula tidak memberi kesan kepada iman secara mutlak. Mereka mengatakan bahawa keimanan yang disertai dengan kemaksiatan tidak memberi mudarat, sebagaimana tidak memberi manfaat kekufuran yang disertai dengan ketaatan.
b . Kemudian sebahagian mereka ada yang bersikap melampau. Mereka menganggap bahawa keimanan itu hanyalah dengan hati, sekalipun seseorang itu mengumumkan kekufurannya dengan lisan, menyembah berhala atau melazimi orang-orang Yahudi dan Nasrani; dan dia mati dalam keadaan begitu, maka tetap dianggap sebagai orang yang beriman.
Terdapat kefasikan dan kejahatan di dalam pandangan-pandangan mazhab ini yang membuka pintu ke arah segala kerosakan. pandangan-pandangan mazhab ini yang membuka pintu ke arah segala kerosakan. Mereka menjadikannya sebagai perantara dosa-dosa mereka.
Zaid bin Ali bin al-Husain berkata: "Aku bebas dari Murji'ah yang sukakan kepada kefasikan pada keampunan Allah."
Memang banyak mazhab yang muncul secara bersih, kemudian para pengikutnya menjadi pelampau yang mengikut hawa nafsu mereka.

KEMUNCULAN ILMU KALAM

Kemunculan Ilmu Kalam

Pada zaman Abbasiyah, telah banyak berlaku pembahasan di dalam perkara-perkara akidah termasuk perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Nabi s.a.w. atau zaman para sahabatnya. Berlaku pembahasan tersebut dengan memberi penumpuan agar ia menjadi satu ilmu baru yang diberi nama Ilmu Kalam. Ilmu ini muncul dan berkembang atas sebab-sebab dalaman dan luaran.
Sebab-sebab dalaman
Berikut ini adalah sebab-sebab dalaman yang menjadi punca munculnya ilmu Kalam:
1. Al-Quran di dalam seruannya kepada tauhid membentangkan aliran-aliran penting dan agama-agama yang bertebaran pada zaman Nabi s.a.w., lalu al-Quran menolak perkataan-perkataan mereka. Secara tabi'I, para ulamak telah mengikut cara al-Quran di dalam menolak mereka yang bertentangan, di mana apabila penentang memperbaharui cara, maka kaum muslimin juga memperbaharui cara menolaknya.
2. Pada zaman pemerintahan Bani Umaiyah, hampir-hampir keseluruhan umat Islam di dalam keimanan yang bersih dari sebarang pertikaian dan perdebatan. Dan apabila kaum muslimin selesai melakukan pembukaan negeri dan kedudukannya telahpun mantap, mereka beralih tumpuan kepada pembahasan sehingga menyebabkan berlaku perselisihan pendapat di kalangan mereka.
3. Perselisihan di dalam masalah politik menjadi sebab di dalam perselisihan mereka mengenai soal-soal keagamaan. Jadilah parti-parti politik tersebut sebagai satu aliran keagamaan yang mempunyai pandangannya sendiri. Parti (kelompok) Imam Ali r.a. membentuk golongan Syiah, dan manakala mereka yang tidak bersetuju dengan Tahkim dari kalangan Syiah telam membentuk kelompok Khawarij. Dan mereka yang membenci perselisihan yang berlaku di kalangan umat Islam telah membentuk golongan Murji'ah.
Sebab-sebab luaran
Berikut ini adalah sebab-sebab luaran yang menjadi punca muncul ilmu Kalam:
1. Ramai orang yang memeluk agama Islam selepas pembukaan beberapa negeri adalah terdiri dari penganut agama lain seperti yahudi, Nasrani, Ateis dan lain-lain. Kadangkala mereka menzahirkan pemikiran-pemikiran agama lama mereka bersalutkan pakaian agama mereka yang baru (Islam).
2. Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah, perkara utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam terdedah dengan semua pemikiran-pemikiran ini dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah melengkapkan diri mereka dengan senjata ilmu Falsafah, lalu Muktazilah telah mempelajarinya agar mereka dapat mempertahankan Islam dengan senjata yang telah digunakan oleh pihak yang menyerang.
3. Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logik), hingga memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak kebatilan-kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu berkenaan.
Kemunculan aliran-aliran Islam
Masalah khilafah (pemerintahan) adalah masalah yang menyebabkan telah berlaku perselisihan yang kuat antara kaum muslimin. Kesan dari perselisihan ini ialah, terbentuknya beberapa kelompok besar di dalam Islam, iaitu:
1. Syiah: Mereka ialah orang-orang yang berpendapat bahawa yang lebih berhak terhadap pemerintahan selepas kewafatan Rasulullah s.a.w. ialah saiyidina Ali r.a.
2. Khawarij: Iaitu mereka yang tidak menyetujui majlis Tahkim. Mereka keluar dari kelompok saiyidina Ali.
3. Murji'ah: Iaitu mereka yang membenci perselisihan dan menjauhi dua kelompok di atas.
Setalah kaum muslimin selesai membuka negeri-negeri, lalu ramai dari kalangan penganut agama lain yang memeluk Islam. Mereka ini menzahirkan pemikiran-pemikiran baru yang diambil dari agama lama mereka tetapi diberi rupabentuk Islam.
Iraq, khususnya di Basrah merupakan tempat segala agama dan aliran. Maka terjadilah perselisihan apabila ada satu golongan yang menafikan kemahuan (iradah) manusia. Kelompok ini diketuai oleh Jahm bin Safwan. Dan antara pengikutnya ialah para pengikut aliran Jabbariyah yang diketuai oleh Ma'bad al-Juhni. Aliran ini lahir ditengah-tengah kecelaruan pemikiran dan asas yang dibentuk oleh setiap kelompok untuk diri mereka.
Kemudian bangkitlah sekelompok orang yang ikhlas memberi penjelasan mengenai akidah-akidah kaum muslimin berdasarkan jalan yang ditempoh oleh al-Quran. Antara yang masyhur di kalangan mereka ialah Hasan al-Basri.
Dan sebahagian dari kesan perselisihan antara Hasan al-Basri dengan muridnya Washil bin Atho' ialah lahirnya satu kelompok baru yang dikenali dengan Muaktazilah. Perselisihan tersebut ialah mengenai hukum orang beriman yang mengerjakan dosa besar, kemudian mati sebelum sempat bertaubat.
Pada akhir kurun ketiga dan awal kurun keempat, lahirlah imam Abu Mansur al-Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka membentuk aliran al-Maturidiah.
Kemudian muncul pula Abul Hasan al-Asy'ari yang telah mengumumkan keluar dari kelompok Mu'tazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulamak dari kalangan fuqahak dan ahli hadis. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya'irah.
Dan dari dua kelompok ini, terbentuklah kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dan kesimpulannya, kita dapat melihat bahawa kemunculan kelompok-kelompok di dalam Islam adalah kembali kepada dua perkara:
1. Perselisihan mengenai pemerintahan
2. Perselisihan di dalam masalah usul atau asas agama.